Skip to main content

Dilema Agribisnis Riau

Oleh Muhammad Amin

Ironi besar-besaran sedang terjadi di Indonesia. Di tengah lahan yang subur, dengan hamparan luas tanah dan ratusan sumber air yang tersedia, negeri ini ternyata masih mengimpor banyak sekali bahan pangan. Beras adalah salah satu makanan pokok yang tak pernah habis diimpor dari beberapa negara tetangga, yang ‘’hanya’’ memiliki lahan pertanian secuil. Ada beras Vietnam, Thailand, dan lainnya. Selain beras, gula adalah juga barang impor yang kemudian sangat mahal di pasaran.Tak cukup itu, bahan makanan lain yang begitu akrab dengan budaya bangsa seperti kedelai dengan produk turunannya berupa tempe, tahu dan lainnya ternyata juga banyak diimpor. Ini tentu menandakan bahwa agribisnis tidak lagi menjadi perhatian negeri ini.
Negeri yang subur ini ternyata tak begitu ramah dengan agribisnis. Negeri ini ternyata lebih ramah dengan pebisnis, investor dan segala hal yang berbau kapitalistik. Jika Indonesia pernah bangga dengan swasembada pangan, maka kini itu tak dapat lagi diandalkan.Lahan-lahan tidur yang ada di Indonesia banyak dimanfaatkan untuk kepentingan usaha besar, yang tak memihak pada agribisnis, atau masyarakat luas.

Di Riau, itu juga terjadi sangat marak. Banyak sekali lahan pertanian di Riau yang sebenarnya sangat potensial untuk mendukung upaya agribisnis. Namun yang berkembang di daerah ini justru lahan kebun sawit yang mendatangkan uang dan investasi sangat besar. Lahan-lahan itu manjadi lumbung bisnis atas nama perkebunan, yakni perkebunan sawit. Ratusan investor asing menanamkan modalnya di sini. Petani memang ‘’sedikit’’ diuntungkan, namun dalam jangka panjang, ada yang berkurang dari pertanian Riau secara lebih luas.Akibat terus maraknya perkebunan sawit, maka saat ini lahan-lahan pertanian Riau untuk padi dan beberapa kebutuhan pokok lainnya terus berkurang.

Ini yang menjadikan lahan pertanian semakin tak menarik lagi bagi petani. Petani mengubah kebiasannya menjadi pekebun dan akhirnya agribisnis di Riau justru berkurang. Para pebisnis besarlah yang kerap diuntungkan dalam konteks ini. Hal yang seperti inilah yang menjadi dilema dalam agribisnis di negeri ini.Dalam lima tahun terakhir ini, persaingan antar komoditas pertanian Riau sangatlah ketat. Usaha pertanian kelapa sawit sudah terlanjur menjadi primadona di kalangan petani di samping tanaman perkebunan lainnya, seperti karet dan kelapa.

Hal ini mengakibatkan pengalihan lahan usaha tani, terutama lahan pertanian pangan seperti sawah.Memang ‘’kesadaran’’ untuk mengembalikan fungsi pertanian sudah ada. Ada berbagai program yang digulirkan untuk kembali bertani. Misalnya ada program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK) yang dimulai 11 Juni 2005. Namun hasilnya masih belum tampak nyata.

Memang aksi revitalisasi pertanian itu baru seumur jagung, namun hambatan dan kendala yang dihadapi juga tidak sedikit. Buku Agribisnis Riau dalam Kemelut ini memaparkan bagaimana kemelut agribisnis yang terjadi di Riau dan secara nasional pada umumnya. Buku ini mengungkapkan juga bagaimana upaya revitalisasi pertanian sudah dimulai, namun tetap belum menampakkan upaya yang maksinal.Penulis buku ini, menyatakan bahwa aksi revitalisasi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk.
Di antaranya adalah dengan mengintegrasikan pembangunan pertanian dalam ekonomi daerah dan nasional, yang diawali melalui pembangunan pedesaan dengan fokus aksi pada masyarakat miskin atau pendapatan rendah yang berkaitan dengan lahan pertanian dan pembiayaan dalam kerangka peningkatan ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga. Pemberdayaan kelembagaan juga harus terus dilakukan.Untuk Riau, terdapat beberapa kasus yang merefleksikakan usaha revitalisasi pertanian ini dan apa kendala yang terjadi.

Buku ini mempresentasikan kasus-kasus yang terjadi pada pertanian Riau dan Indonesia pada umumnya. Dengan bahasa yang berbau akademis, buku ini tentu lebih cocok untuk akademisi, mahasiswa dan mereka yang berkutat dengan dunia agribisnis secara umum.***
Penulis : AZ Fachri Yasin
Penerbit UIR Press, Pekanbaru
Cetakan : Kedua, Februari 2008Tebal : xxiii + 246 halaman

Comments

Paling Banyak Dibaca