Tanggal 10 November bagi bangsa Indonesia adalah tanggal yang paling bersejarah. Setiap tahun anak-anak bangsa selalu memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Timbul pertanyaan, apakah peringatan Hari Pahlawan masih ada artinya, pada saat sekarang ini di masa glaobalisasi ?
Dahulu para pahlawan dalam merebut kemerdekaan, rela berkoban harta dan nyawa. Secara patriotik mereka menghunuskan senjata, walaupun hanya memakai bambu runcing. Bahkan para penegak kemerdekaan rela bergelirya di tengah hutan menahan lapar dan tidur beralaskan semak belukar serta beratapkan langit.
Kemudian sudahkah generasi ini mengormati pahlawan dan memiliki semangat juang dalam mengisi kemerdekaan, sesuia harapan mereka yakni menanamkan nilai-nilai luhur yang berbudi pekerti dan berprestasi ? Diketahui bahwa di era melenium ini arus globalisasi kian kuat menghantam segala bidang kehidupan. Tidak terkecuali kaula remajanya.
Akibat globalisasi tersebut yang sangat dirasakan saat ini adalah mulai bergesernya nilai-nilai budaya, prilaku dan pudarnya semangat mengejar prestasi. Yang sangat jelas terlihat adalah perubahan gaya hidup yang meniru Western.
Namun tidak semuanya anak bangsa di negeri ini memiliki sikap dan prilaku yang kebarat-baratan seperti itu, seolah telah melupakan akar sejarah perjuangan pahlawan kemerdekaan.
Sebut saja Adi siswa SMAN 10 Pekanbaru, ia mengaku sangat menghargai perjuangan pahlawan bangsa yang kini sebagai kesuma bangsa. Meski ia tidak berjuang lagi memanggul senjata, namun kemerdekaan ini ia isi denagn belajar yang sungguh-sungguh.
Kemudian ada lagi Desy mahasiswa Universitas Muhammadiyah Riau (Umri). Belajar mengejar cita-cita adalah bagian dari menghormati dan mengisi kemerdekaan. Jerih payah pahlawan tidak sebanding dengan apa yang kini ia lakukan. Meski begitu belajar adalah pekerjaan utama baginya.
Selanjutnya arti kepahlawanan tidak hanya seperti pahlawan yang merebut kemerdekaan. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya.
Kepahlawanan tidak hanya lahir dari kancah pertempuran, tetapi dapat juga lahir di kesunyian ruang laboratorium, dari lingkungan pabrik-pabrik yang pengap karena polusi, serta pengabdian seorang guru di daerah terpencil. Ukuran kepahlawanan bisa saja berubah sejalan dengan penyikapan masyarakat terhadap nilai kepahlawanan, namun nilai harfiahnya tetap dipertahankan.
Setiap hari anak bangsa mesti berjuang paling tidak menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya, menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Kata pahlawan memang pantas kita sematkan pada dada sosok-sosok mulia yang dikenal sebagai ‘’pahlawan tanpa tanda jasa’’ yakni guru. Mereka memang benar-benar tanpa tanda jasa. Begitu juga bagi mereka yang berprestasi baik dalam bidang olahraga, bermacam disiplin ilmu, dalam pelestarian alam dan mereka sebagai penyelengara negara ini, mereka yang telah bekerja keras demi kebutuhan sandang dan pangan, mereka yang menjaga keamanan bahkan mereka para TKW dan TKI, juga layak menyandang gelar pahlawan devisa.
Lainnya:
Cerpen Tentang kepahlawanan
Dahulu para pahlawan dalam merebut kemerdekaan, rela berkoban harta dan nyawa. Secara patriotik mereka menghunuskan senjata, walaupun hanya memakai bambu runcing. Bahkan para penegak kemerdekaan rela bergelirya di tengah hutan menahan lapar dan tidur beralaskan semak belukar serta beratapkan langit.
Kemudian sudahkah generasi ini mengormati pahlawan dan memiliki semangat juang dalam mengisi kemerdekaan, sesuia harapan mereka yakni menanamkan nilai-nilai luhur yang berbudi pekerti dan berprestasi ? Diketahui bahwa di era melenium ini arus globalisasi kian kuat menghantam segala bidang kehidupan. Tidak terkecuali kaula remajanya.
Akibat globalisasi tersebut yang sangat dirasakan saat ini adalah mulai bergesernya nilai-nilai budaya, prilaku dan pudarnya semangat mengejar prestasi. Yang sangat jelas terlihat adalah perubahan gaya hidup yang meniru Western.
Namun tidak semuanya anak bangsa di negeri ini memiliki sikap dan prilaku yang kebarat-baratan seperti itu, seolah telah melupakan akar sejarah perjuangan pahlawan kemerdekaan.
Sebut saja Adi siswa SMAN 10 Pekanbaru, ia mengaku sangat menghargai perjuangan pahlawan bangsa yang kini sebagai kesuma bangsa. Meski ia tidak berjuang lagi memanggul senjata, namun kemerdekaan ini ia isi denagn belajar yang sungguh-sungguh.
Kemudian ada lagi Desy mahasiswa Universitas Muhammadiyah Riau (Umri). Belajar mengejar cita-cita adalah bagian dari menghormati dan mengisi kemerdekaan. Jerih payah pahlawan tidak sebanding dengan apa yang kini ia lakukan. Meski begitu belajar adalah pekerjaan utama baginya.
Selanjutnya arti kepahlawanan tidak hanya seperti pahlawan yang merebut kemerdekaan. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya.
Kepahlawanan tidak hanya lahir dari kancah pertempuran, tetapi dapat juga lahir di kesunyian ruang laboratorium, dari lingkungan pabrik-pabrik yang pengap karena polusi, serta pengabdian seorang guru di daerah terpencil. Ukuran kepahlawanan bisa saja berubah sejalan dengan penyikapan masyarakat terhadap nilai kepahlawanan, namun nilai harfiahnya tetap dipertahankan.
Setiap hari anak bangsa mesti berjuang paling tidak menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya, menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Kata pahlawan memang pantas kita sematkan pada dada sosok-sosok mulia yang dikenal sebagai ‘’pahlawan tanpa tanda jasa’’ yakni guru. Mereka memang benar-benar tanpa tanda jasa. Begitu juga bagi mereka yang berprestasi baik dalam bidang olahraga, bermacam disiplin ilmu, dalam pelestarian alam dan mereka sebagai penyelengara negara ini, mereka yang telah bekerja keras demi kebutuhan sandang dan pangan, mereka yang menjaga keamanan bahkan mereka para TKW dan TKI, juga layak menyandang gelar pahlawan devisa.
Lainnya:
Cerpen Tentang kepahlawanan
Comments
Post a Comment