Skip to main content

Cerpen: Brownis

Cerpen BrownisUdara pagi kuhirup dengan senyum. Dengan penuh semangat kutarik tanganku ke atas hingga tulang dan otot-ototku yang masih kaku mulai mereggang. Setelah itu kuputar-putar kepalaku, kuhirup lagi angin pagi yang masih harum.Namaku Khairubby Anash.

Teman-temanku biasa memanggil Rubby. Tapi papa dan mama lebih senang memanggilku Biby. Lain lagi dengan kak Tita, kakakku, lebih sering sekali memanggilku Ubi. Sekalian meledek. Tapi aku senang dengan namaku.Aku tinggal di Pekanbaru. Aku baru tiba di sini kemarin. Dulu waktu berusia 11 tahun aku pindah ke Jakarta. Tapi kemarin aku sudah pindah lagi ke sini. Kota Pekanbaru yang penuh kenangan. Kota besar yang penuh debu. Itulah sebabnya aku bangun pagi-pagi. Sama saja dengan Jakarta , udara bersih sulit dicari di sini.Dengan modal ingatan 5 tahun lalu, aku beranikan diri untuk jalan-jalan mengelilingi Pekanbaru. Dengan sigap kukeluarkan mobil dari garasi.

“Biby, kamu mau ke mana?” Mama keluar dari pintu depan masih dengan gaun tidur hijau favoritnya.“Mau jalan-jalan bentar, Ma,” teriakku dari dalam mobil.“Hati-hati ya, Sayang. Jangan ngebut-ngebut.”“Sip, Ma!!!”Aku mulai menjalankan mobilku, keluar dari Jalan Merpati. Dulu saat masih 11 tahun aku tinggal di Rumbai. Saat itu papa masih bekerja di sebuh perusahaan yang ada di sana. Tapi rumah itu sudah dijual. Lagi pula mama tidak mau tinggal di Rumbai. Dia lebih memilih di Pekanbaru karena pusat kota . Aku memasuki jalan raya. Dengan mudahnya mobilku meluncur di aspal yang seingatku dulu masih berlubang-lubang dan jelek sekali. Belok kiri, belok kanan, tak terhitung lagi olehku.

Aku terpana melihat Pekanbaru yang hanya dalam waktu 5 tahun sudah banyak mengalami perubahan. Aku bahkan terkejut saat melihat beberapa mal yang dulu tidak ada saat aku masih berusia 11 tahun.Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 WIB. Perutku yang tadi hanya kuisi dengan sepotong roti sudah meminta untuk diisi lagi. Aku berniat untuk makan di luar lalu melanjutkan perjalananku mengelilingi kota .

Tapi aku tidak membawa uang sedikitpun. Handphone juga tinggal. Jadi kasihan mama jika tidak diberi kabar.Aku menggerakkan mobilku lagi memasuki Jalan Sudirman. Lalu belok kejalan Cut Nyak Dien. Lalu… Jalan Ahmad Yani. Kemudian… Kemudia apa? Astaga!!! Aku lupa!!! Bagaimana ini? Aku mencoba untuk stay cool. Ayo, coba ingat lagi. Setelah ini ke mana.Aku berbelok ke kanan, lalu ke kiri. Hasilnya, aku kembali ke jalan Sudirman lagi. Kulajukan lagi mobilku. Kini aku tiba di depan sebuah sekolah. Aduh, bagaimana ini? Aku bingung sekali. Tanpa terasa keluar keringat di dahiku. Padahal AC mobilku dingin sekali.Sempat terpikir untuk pergi ke sebuah warung telepon. Tapi, aku tidak tahu nomor telepon rumahku yang baru itu karena aku baru tiba di sini kemarin.

Sementara itu perutku mencoba mengingatkanku lagi bahwa ia perlu diisi.Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Hm… Bagaimana kalau bertanya pada orang. Tapi aku takut. Plat mobilku masih plat mobil Jakarta. Bagaimana kalau orang yang kutanyai itu tahu kalau aku tersesat dan punya niat jahat? Wah, bisa-bisa alamat dikerjai! Tapi aku mencoba untuk menghilangkan pikiran itu. Dari pada tidak pulang. Lebih baik aku bertanya pada orang yang berwajah baik-baik.

Mataku tertuju pada seorang cowok yang memakai seragam SMA. Cowok itu baru keluar dari sekolahnya.Dengan sigap, kudekati cowok itu sebelum ia pergi.“Mas… Mas…” Teriakku sambil membuka kaca mobil.Cowok itu kaget. Lalu melihat ke arahku.“ Ada apa, ya?”“Gue… eh, maksudnya, saya mau nanya…” ucapku dengan logat Jakartaku yang sudah kental.“Nanya apa?” “Hm… Jalan Merpati di mana ya, Mas?”“Jalan Merpati? Di mana tuh?”“Kalo tau, ngapain juga saya nanya sama kamu.”Cowok itu berfikir sejenak. Matanya tak lepas dari wajahku. Entah deja vu atau apa, tapi rasanya wajah cowok itu tak asing bagiku.“

Hm… Sepertinya saya tahu.. Ntar kamu belok kiri, terus lurus aja sampe ada simpang tiga. Abis itu kamu belok kiri. Ntar ada bengkel, belok kiri lagi, abis tu terus sampe ada simpang empat. Abis itu…. Apa lagi ya? Oh iya, lurus aja. Ntar ketemu sendiri kok jalan Merpatinya.”“Hah? Panjang amat, sih!” keningku berkerut saking pusingnya.“Yee… emang jauh dari sini kok.”Aku berfikir sejenak. Mana aku ingat apa yang dikatakannya tadi. Duh, bagaimana ini? Apa aku harus minta dia mengantarkan.

Tidak mungkin! Aku kan tidak kenal sama dia. Bisa-bisa mobilku dibawa lari, terus aku ditinggalkan di tepi jalan. Alamat makin ribet masalahnya.“Perlu aku antar, By?” ujar cowok itu tiba-tiba sudah masuk ke mobilku.“Heh… ngapain lo masuk ke mobil gue??!!” teriakku emosi.“Sombong kali kamu By. Mentang-mentang udah pindah ke Jakarta.” Cowok itu tersenyum menghilangkan kecurigaanku padanya.“Loh, kok lo tau nama gue?”“Ya iya lah aku tau. Kamu udah lupa sama aku?”“Emang lo siapa?” keningku berkerut. Lama aku terdiam.

“Hm... bentar… bentar… Lo bukan… bukan Divo, kan?”Cowok itu tertawa. Menimbulkan lesung pipit di pipinya.“Iya, By. Ini aku. Caldivo Raihan. Tetangga kamu dulu. Masa lupa kamu sama aku!” Divo cemberut.“Astaga!!! Sori Div. Aku lupa. Abis muka kamu berubah banget sih.”Divo adalah tetanggaku saat masih tinggal di Rumbai dulu. Kami sangat akrab. Kami berangkat dan pulang sekolah bersama. Setiap hari Minggu, kami selalu bermain di Play ground, di dekat rumah kami. Saat aku pindah ke Jakarta kami juga sempat surat-suratan. Tapi hanya sebentar, karena aku pernah lupa membalas suratnya.

“Berubah gimana?” Tanya Divo membuyarkan lamunanku.
“Ya berubah,” jawabku cepat. “Dulu kamu lebih pendek dari aku. Tapi sepertinya sekarang kamu udah lebih tinggi. Muka kamu juga berubah.”Divo tersenyum.
“Makin cakep, kan?”“Hm… Nggak kali!” Aku mencibir.Divo tertawa renyah.
“Kamu juga berubah, By. Nggak kayak dulu. Cara ngomong kamu juga udah nggak Pekanbaru style lagi.”“Ya iyalah, Div. Kan aku udah 5 tahun di Jakarta.”
“Oh, jadi mentang-mentang udah 5 tahun jadi lupa sama Pekanbaru?”
“Hahaha… Iya nih, Div. Aku udah pindah ke sini lagi loh.”“Ha? Iya? Terus kamu tinggal di mana?”
“Di Jalan Merpati. Tapi aku lupa jalan pulang.” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Haha… Dasar kamu ni.. Ya udahlah. Biar aku antarin kamu.”Aku tersenyum lalu menggerakkan mobilku lagi. Di tengah perjalanan dan perbincangan hangat kami, tiba-tiba perutku mulai protes lagi. Mungkin karena kucuekin dari tadi. Yang parahnya, kali ini perutku berbunyi.

“Lapar ya, By?” Tanya Divo.“Eh, iya,” jawabku malu. Semburat merah mewarnai pipiku.
“Kita makan dulu, yuk.”“Ng… Aku nggak bawa dompet…” ujarku pelan.“Ya udah, aku traktir.”“
Nggak ah. Rumah aku udah dekat, kan?”“Nggak. Masih jauh. Ntar maag kamu kambuh lagi.”
“Kok kamu tau aku sakit maag?”“Ya taulah. Kamu lupa ya kalo kita udah temenan sejak kecil…”“Nggak kok, Div. Aku masih ingat.”

Aku terdiam. Aku kaget Divo masih ingat tentang aku. Mungkin tidak semua. Tapi hal sekecil itu saja dia ingat. Apa lagi hal lainnya yang lebih besar lagi. Dia pasti masih ingat masalah itu. Masalah yang aku coba untuk lupakan. Masalah yang sudah 5 tahun aku coba untuk membuangnya jauh-jauh dari pikiranku. Mungkin karena aku malu bila mengingatnyaAku memarkirkan mobilku di bawah pohon yang rindang. Lalu kami turun dan memasuki sebuah food court. Food court itu sangat ramai.

Awalnya kami kesusahan mencari tempat duduk, hingga akhirnya ada pengunjung yang pulang.Kami memesan makanan yang sama.
“Kamu masih suka daging asap?” Tanyaku mencairkan keheningan.
“Iya. Kamu ingat?”
“Ya.” Jawabku singkat.
“Kamu juga masih ingat tentang maagku.”
“Hm… Aku masih ingat semuanya tetang kamu, By.
”Aku terdiam. Terdiam karena nada bicaranya yang terdengar serius.
“Hm… Apa aja yang kamu ingat?” tanyaku gugup.
“Aku ingat dulu kita sering maen sama-sama.” Aku menghembuskan nafas lega.
“Cuma itu?”“Nggak.” Jawab Divo cepat. Nadanya terdengar dingin hingga membuatku membeku.
“Aku masih ingat tentang Brownis…”
”Oh iya!!!” Aku memotong ucapannya, “Aku suka banget sama Brownis. Kamu masih ingat ternyata.” Divo tersenyum. Sepertinya dia tahu aku tidak ingin dia melanjutkan kata-katanya tadi. Akhirnya kami makan dalam diam. Dalam diamku, aku mengingat kenangan itu.

***

“Divo… aku bawa sesuatu untuk kamu!!!” ujar seorang gadis kecil kepada teman laki-lakinya.“Kamu bawa apa, By?” Tanya anak laki-laki itu sambil turun dari ayunan.“Tapi kamu harus terima, ya?”“Hm... Oke. Kamu bawa apa?”“Ini...” Gadis kecil itu melihatkan sebuah kotak kue pada temannya.“Wah.. Brownis.” Mata anak laki-laki itu berbinar. Tapi tiba-tiba binar matanya meredup. “Ng… Apa nih?”Anak laki-laki itu membaca sebuah kalimat yang terdapat di atas Brownis itu “Aku sayang kamu. Maksudnya, By?”“Iya, Div,” Jawab Rubby kecil polos. “Aku sayang banget sama kamu…”“Oh.. Aku juga sayang sama kamu, By. Kan kamu teman aku.”Tiba-tiba senyum di wajah Rubby kecil lenyap. “Maksud aku bukan itu. Aku sayang kamu lebih dari teman.”“Gitu ya, By. Tapi, kitakan masih 11 tahun. Kita masih kecil. Lagian kamu kan mau pergi besok.”Rubby cuma diam. “Jadi aku nggak boleh sayang sama kamu?”Divo menggeleng.“Oh, ya udah…” Rubby pergi menjauh. Wajahnya lesu. Esoknya… ”Rubby, nih kotak kue kamu kemarin tertinggal.” Divo tiba-tiba muncul di depan Rubby yang sedang duduk menunggu orang tuanya yang sedang menyiapkan keperluan pindah.Rubby mengangkat kepalanya. Lalu di raihnya kotak kue itu. “Makasih, Div.”“Rubby, kalo nanti kamu udah sampai di Jakarta jangan lupa sama aku ya,” ujar Divo tulus.“Iya, Div. Kamu juga jangan lupa sama aku, ya.” Rubby tersenyum. “Terus kalo aku udah besar, aku mau lanjutin sayang aku sama kamu. Boleh, kan?”Divo tersenyum. “Boleh, By.”“Biby!” Mama Rubby memanggil sambil keluar dari dalam rumah bersama mama Divo. “Biby, ayo berangkat! Divo, tante pergi dulu, ya. Kamu jangan nakal.”“Iya, Tante,” jawab Divo.Lalu Rubby naik ke mobil. Mobil Rubby melaju kencang meninggalkan Divo yang menatap mobil itu hingga hilang dari pandangan.

***

”Rubby!!!” Suara Divo membuyarkan lamunan panjangku. “Rumah kamu yang mana? Kita udah di Jalan Merpati nih,” tanya Divo dari tempat duduk pengemudi.“Rumah aku nomor 17. Itu yang catnya warna biru. Loh, kok kamu yang bawa mobil aku? Kapan kita keluar dari food court?” Aku benar-benar tidak sadar ketika mendapati diriku sudah di dalam mobil dan Divo yang mengendarai mobilku.“Ternyata kamu benar-benar lagi ngelamun, ya?” Divo menjalankan lagi mobilku. “Dari tadi aku tanyain kamu diam aja. Jadi aku biarin aja. Terus waktu aku minta kunci mobil, kau kasih gitu aja ke aku. Ya udah, aku bawa aja mobil kamu.”“Gitu ya?” ucapku lambat.“Emang kamu ngelamunin apa? Kok serius kali?”“Ng… Aku ingat tentang…”“Brownis?”Aku kaget. “Kok kamu tau?”“Ya… Tau aja.”Divo menghentikan mobilku di depan rumahku. “Ya udah, By. Aku pulang dulu.” Lalu ia bersiap untuk keluar dari mobilku.“Eh, Div!” Aku menariknya lagi agar tidak keluar dari mobil.“Kenapa?”“Kamu… kamu nggak mampir dulu?”“Nggak, By. Aku mau les.”“Ya udah aku antar aja.”Divo tertawa. “Nanti kamu tersesat lagi. Lagian tempat lesnya nggak jauh kali kok.”“Aku…” ucapku gugup.“Kau mau ngelanjutin ucapanmu yang dulu?”Aku mengangkat kepalaku. Tuh kan , benar dia masih ingat!“Aku… Aku Cuma…” Aku makin gugup.Divo tersenyum. “Nggak apa-apa, By. Aku juga mau minta maaf.”“Minta maaf kenapa?” Tanya ku bingung.“Kata-kata aku dulu nyakitin. Aku benar-benar nyesal udah bilang gitu ke kamu. Aku udah mau minta maaf sama kamu dulu. Tapi kamu udah mau pergi. Jadi nggak sempat aku bilang.”Aku cuma senyum.

“Nggak apa-apa, Div. Lagian dulu aku masih kecil dan nggak serius ngomongnya. Aku nggak sedih sama sekali, kok.”“Jadi kamu nggak serius, By?” pertanyaan Divo ini membuatku bingung.“M… maksud aku…” Aku berusaha memikirkan kata-kata yang bagus.“Padahal aku berharap kamu serius…” Divo tersenyum lalu keluar dari mobil.Ia berjalan menuju simpang jalan rumahku, lalu menyetop angkot dan naik kedalamnya.Sedangkan aku... Aku masih duduk terpaku di dalam mobil, tak tahu harus bagaimana…***

Cerpen Brownis Maydinna Zahira adalah siswi Kelas XI IPS 2 SMA Cendana Rumbai.

Comments

Paling Banyak Dibaca